Sembilan bulan berlalu. Tibalah saat yang begitu dinanti, menyambut kelahiran sang bayi. Selama dalam penantian, ayah dan ibu menyimpan berjuta harapan dan impian terindah.
Tak pernah ada orang tua yang berharap mendapatkan seorang anak yang tak sempurna. Masing-masing mengidamkan anak yang sehat sempurna lagi rupawan. Namun terkadang impian mereka sekian lama tidak terwujud. Si kecil dilahirkan dengan berbagai kekurangan. Warna kulit yang tidak menarik, wajah tak seperti yang diharapkan, dan entah apa lagi kekurangan yang ada.
Sungguh, bagaimanapun keadaan anak kita, kita tak boleh menyesalinya. Bukan kita yang berkehendak, lebih-lebih si anak. Sama sekali bukan pilihannya untuk dilahirkan dengan menyandang kekurangan. Semua yang ada padanya, Allah l-lah yang membentuk dan menciptakannya dengan kesempurnaan ilmu dan hikmah-Nya.
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah l berfirman:
“Dialah yang membentuk kalian di dalam rahim sebagaimana yang Dia kehendaki. Tiada ilah yang berhak disembah selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahasempurna hikmah-Nya.” (Ali ‘Imran: 6)
Dalam ayat yang lain, Allah l berfirman:
“Maka terangkanlah tentang mani yang kalian pancarkan. Kaliankah yang menciptakannya atau Kamikah yang menciptakannya?” (Al-Waqi’ah: 58-59)
Allah l berfirman pula tentang manusia:
“Dari apakah Dia menciptakannya? Dari setetes mani Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (‘Abasa: 18-19)
Demikianlah. Hanya Dia yang berkuasa dalam perkara ini, sebagaimana Allah l nyatakan:
“Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Mengadakan, dan yang membentuk rupa.” (Al-Hasyr: 24)
Tidak sepantasnya kita hanya memandang kelebihan dari sisi fisik semata. Betapa banyak orang yang Allah l karuniai ketampanan, kecantikan, dan keindahan jasmani, namun menjadi orang yang celaka di sisi Allah l. Sebaliknya, betapa banyak orang yang tak memiliki kelebihan dari segi fisik, bahkan memiliki berbagai kekurangan, ternyata dia menjadi seorang yang mulia di sisi Allah l. Ya, karena dia adalah seseorang yang memiliki ketakwaan kepada Allah l. Sementara Allah l telah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Rasulullah n pun pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada fisik maupun bentuk kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim no. 1987)
Lihatlah bagaimana Allah l menganugerahkan kemuliaan kepada seorang bekas budak yang tak memiliki ketampanan, bahkan dirinya memliki berbagai cacat dan kekurangan. ‘Atha’ bin Abi Rabah t, seorang tabi’in, bekas budak asal Afrika yang berkulit hitam, pesek hidungnya, jelek parasnya, buta sebelah matanya lagi pincang kakinya. Namun dia adalah seseorang yang merupakan salah satu tonggak ilmu, agama, kebaikan, dan keteladanan. Dia amat disegani oleh seluruh kalangan, bahkan oleh khalifah sekali pun. Penguasa saat itu, Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik, mengakui kehinaan dirinya di hadapan seorang ‘Atha’ bin Abi Rabah. (Waratsatul Anbiya’, hlm. 33, 118)
Karena itu, jangan sampai kita terlampau kagum dengan ketampanan dan kecantikan salah seorang di antara anak-anak kita, sampai-sampai kita meremehkan bahkan menzalimi anak-anak yang lain. Jangan pula kekurangan yang dimiliki anak kita membuat kita malu dan mengesampingkannya. Jangan... Bahkan kita tidak mengetahui, barangkali justru dari anak yang sarat kekurangan kita akan dapati kebaikan dan bakti.
“Orangtua dan anak-anak kalian, kalian tidak tahu siapakah di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kalian.” (An-Nisa’: 11)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
http://www.asysyariah.com
Kamis, 09 Juni 2011
Rabu, 08 Juni 2011
Takutlah Kepada Allah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah takut kepada Allah l. Sifat ini akan menjaga pemiliknya untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya.
Menelusuri kehidupan untuk mencari kebahagiaan yang hakiki sungguh sangat sulit. Kita harus melalui pertarungan-pertarungan yang sengit, jalan-jalan yang terjal dan berjurang penuh dengan duri. Jika salah langkah, hanya akan didapati dua kemungkinan dan tidak ada kemungkinan yang ketiga. Pertama, akan menjadi orang yang terselamatkan sehingga selamat (dunia akhirat) dan kedua, menjadi orang yang binasa dan celaka.
Masih beruntung jika terselamatkan sehingga bisa kembali berjuang dengan menerjang badai yang ganas dan dahsyat tersebut. Namun sungguh malang jika setelah terselamatkan tidak bisa berjuang, tidak bisa bangkit menyelamatkan diri, padahal lawan bertarung sangat kuat. Itulah Iblis dan tentara-tentaranya dari kalangan jin dan manusia serta lawan yang ada pada diri kita yang disebut nafsu.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada yang jelek.” (Yusuf: 53)
Adapun jalan-jalan yang terjal dan berjurang serta penuh dengan duri itu adalah segala yang diharamkan Allah l yang menghiasi kehidupan ini.
Di sinilah letak pentingnya rasa takut yang harus menghiasi perjuangan kita. Yang akan membentengi diri kita agar tidak terjatuh ke lubang yang penuh dengan duri serta mengokohkan kita agar tidak terseret hawa nafsu yang dikendarai oleh Iblis dan tentara-tentaranya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Amalan hati seperti tawakal, takut, berharap, dan sejenisnya serta sabar adalah wajib, menurut kesepakatan para ulama.” (al-Ikhtiyarat, hlm. 85)
Kedudukan Takut dalam Agama
Takut merupakan bentuk ibadah hati yang memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama, bahkan mencakup seluruh jenis ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman. Ibnul Qayyim t dalam kitab beliau Ighatsatul Lahafan (1/30) berkata, “Termasuk tipu daya musuh Allah l adalah menakut-nakuti orang beriman dengan balatentara dan wali-wali mereka (wali setan) agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka, menyeru mereka (orang-orang yang beriman) kepada kemungkaran dan mencegah mereka dari kebajikan. Allah l memberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah tipu daya setan dan merupakan ketakutan yang mereka tanamkan. Allah l telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah l:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
Tatkala iman seorang hamba kuat, maka akan hilang rasa takut terhadap wali-wali setan. Tatkala imannya melemah, akan menjadi kuat ketakutan tersebut. Maka ayat ini (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah l termasuk syarat iman.”
Takut Kepada Allah l adalah Ibadah
Di samping memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, ‘takut’ juga merupakan salah satu perintah Allah l sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain maka sungguh sangat jelas bahwa takut (kepada Allah l)) itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia, dan Allah l tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t dalam kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan, “Macam-macam ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah l seperti islam, iman, dan ihsan, juga termasuk berdoa, takut, berharap, tawakal, cinta, rahbah (salah satu jenis takut), khasyah (juga salah satu jenis takut), khusyuk, bertaubat, meminta pertolongan, meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah l, semuanya milik Allah l semata berdasarkan firman-Nya:
“Dan bahwasanya masjid-masjid ini adalah milik Allah maka janganlah kamu berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada Allah.” (al-Jin: 18)
Barang siapa berpaling sedikit saja kepada selain Allah l maka dia seorang musyrik dan kafir.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab t dalam kitab beliau Fathul Majid mengatakan, “Takut berkedudukan tinggi dan mulia di dalam agama serta termasuk jenis ibadah yang banyak cakupannya, yang wajib hanya diberikan kepada Allah l.”
Dalil Takut adalah Ibadah
Allah l berfirman:
“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (an-Nahl: 50)
“Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (al-Ahzab: 39)
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Baqarah: 150)
Masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang takut. Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau n bersabda (yang artinya):
“Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba (laki-laki) yang ‘diajak’ oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah z)
Syaddad bin Aus z berkata, Rasulullah n telah berkata bahwa Allah l berfirman (yang artinya):
“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku. Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.” (HR. Abu Nu’aim dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani t di dalam ash-Shahihah no. 742)
Macam-Macam Takut
Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, takut ibadah.
Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah l.
Kedua, takut syirik.
Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah tersebut kepada selain Allah l. Barang siapa memberikannya kepada selain Allah l, dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti memberikannya kepada orang mati, dukun-dukun, atau wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudarat, dsb.
Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah serta hartanya.
Allah l berfirman:
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Ketiga, takut tabiat.
Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas. Allah l berfirman menceritakan kisah Nabi Musa q:
“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (al-Qashash: 21)
Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah l?
Jawabannya harus dirinci. JIka takut kepada selain Allah l menyebabkan seseorang menghinakan diri di hadapannya (selain Allah l tersebut) dan mengagungkannya maka ini termasuk syirik. Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban maka takut ini termasuk maksiat dan berdosa. Jika takutnya adalah takut tabiat seperti takut pada air deras yang bisa menghanyutkan dirinya, harta atau anaknya, takut yang demikian itu adalah boleh.
Wallahu a’lam.
Sumber bacaan:
1. Al-Qur’an
2. al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
3. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
4. al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani
5. al-Ushuluts Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Masih beruntung jika terselamatkan sehingga bisa kembali berjuang dengan menerjang badai yang ganas dan dahsyat tersebut. Namun sungguh malang jika setelah terselamatkan tidak bisa berjuang, tidak bisa bangkit menyelamatkan diri, padahal lawan bertarung sangat kuat. Itulah Iblis dan tentara-tentaranya dari kalangan jin dan manusia serta lawan yang ada pada diri kita yang disebut nafsu.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada yang jelek.” (Yusuf: 53)
Adapun jalan-jalan yang terjal dan berjurang serta penuh dengan duri itu adalah segala yang diharamkan Allah l yang menghiasi kehidupan ini.
Di sinilah letak pentingnya rasa takut yang harus menghiasi perjuangan kita. Yang akan membentengi diri kita agar tidak terjatuh ke lubang yang penuh dengan duri serta mengokohkan kita agar tidak terseret hawa nafsu yang dikendarai oleh Iblis dan tentara-tentaranya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Amalan hati seperti tawakal, takut, berharap, dan sejenisnya serta sabar adalah wajib, menurut kesepakatan para ulama.” (al-Ikhtiyarat, hlm. 85)
Kedudukan Takut dalam Agama
Takut merupakan bentuk ibadah hati yang memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama, bahkan mencakup seluruh jenis ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman. Ibnul Qayyim t dalam kitab beliau Ighatsatul Lahafan (1/30) berkata, “Termasuk tipu daya musuh Allah l adalah menakut-nakuti orang beriman dengan balatentara dan wali-wali mereka (wali setan) agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka, menyeru mereka (orang-orang yang beriman) kepada kemungkaran dan mencegah mereka dari kebajikan. Allah l memberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah tipu daya setan dan merupakan ketakutan yang mereka tanamkan. Allah l telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah l:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
Tatkala iman seorang hamba kuat, maka akan hilang rasa takut terhadap wali-wali setan. Tatkala imannya melemah, akan menjadi kuat ketakutan tersebut. Maka ayat ini (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah l termasuk syarat iman.”
Takut Kepada Allah l adalah Ibadah
Di samping memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, ‘takut’ juga merupakan salah satu perintah Allah l sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain maka sungguh sangat jelas bahwa takut (kepada Allah l)) itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia, dan Allah l tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t dalam kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan, “Macam-macam ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah l seperti islam, iman, dan ihsan, juga termasuk berdoa, takut, berharap, tawakal, cinta, rahbah (salah satu jenis takut), khasyah (juga salah satu jenis takut), khusyuk, bertaubat, meminta pertolongan, meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah l, semuanya milik Allah l semata berdasarkan firman-Nya:
“Dan bahwasanya masjid-masjid ini adalah milik Allah maka janganlah kamu berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada Allah.” (al-Jin: 18)
Barang siapa berpaling sedikit saja kepada selain Allah l maka dia seorang musyrik dan kafir.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab t dalam kitab beliau Fathul Majid mengatakan, “Takut berkedudukan tinggi dan mulia di dalam agama serta termasuk jenis ibadah yang banyak cakupannya, yang wajib hanya diberikan kepada Allah l.”
Dalil Takut adalah Ibadah
Allah l berfirman:
“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (an-Nahl: 50)
“Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (al-Ahzab: 39)
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Baqarah: 150)
Masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang takut. Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau n bersabda (yang artinya):
“Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba (laki-laki) yang ‘diajak’ oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah z)
Syaddad bin Aus z berkata, Rasulullah n telah berkata bahwa Allah l berfirman (yang artinya):
“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku. Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.” (HR. Abu Nu’aim dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani t di dalam ash-Shahihah no. 742)
Macam-Macam Takut
Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, takut ibadah.
Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah l.
Kedua, takut syirik.
Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah tersebut kepada selain Allah l. Barang siapa memberikannya kepada selain Allah l, dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti memberikannya kepada orang mati, dukun-dukun, atau wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudarat, dsb.
Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah serta hartanya.
Allah l berfirman:
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Ketiga, takut tabiat.
Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas. Allah l berfirman menceritakan kisah Nabi Musa q:
“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (al-Qashash: 21)
Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah l?
Jawabannya harus dirinci. JIka takut kepada selain Allah l menyebabkan seseorang menghinakan diri di hadapannya (selain Allah l tersebut) dan mengagungkannya maka ini termasuk syirik. Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban maka takut ini termasuk maksiat dan berdosa. Jika takutnya adalah takut tabiat seperti takut pada air deras yang bisa menghanyutkan dirinya, harta atau anaknya, takut yang demikian itu adalah boleh.
Wallahu a’lam.
Sumber bacaan:
1. Al-Qur’an
2. al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
3. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
4. al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani
5. al-Ushuluts Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
http://www.asysyariah.com/syariah/akidah/588.html
Langganan:
Postingan (Atom)